Adatiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang merupakan wadah untuk menempa ilmu-ilmu agama. Selain berperan di bidang pendidikan, pesantren juga lekat dengan kehidupan sosial-masyarakat. Pesantren hadir melakukan pemberdayaan dan solusi problematika umat sehingga sejak berdirinya, pesnatren tidak tercerabut dari akar sosial-masyarakatnya. Peran itulah yang membuat pesantren juga menjelma sebagai wadah pergerakan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisme. Jika dirunut perjuangan dan langkah-langkah diplomasi yang dilakukan para kiai, pesantren merupakan satu-satunya wadah yang tidak terpengaruh oleh kepentingan politik kolonial. Baik pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang. Berbagai macam cara dilakukan oleh para ulama pesantren agar dapat melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan, baik melalui pendidikan, kemandirian dan pemberdayaan ekonomi, organisasi pemikiran, dan lain-lain. Wadah atau perkumpulan yang didirikan oleh para kiai bertujuan menyadarkan spirit perjuangan bangsa Indonesia, memperkuat cinta tanah, dan melakukan perlawanan kultural. Peran ulama pesantren begitu nyata dalam membangun pondasi kekuatan bangsa secara embrionik melalui perkumpulan para pemuda dengan komitmen cinta tanah air yang berhasil dilakukan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah beberapa tahun setelah dr Soetomo mendirikan organisasi pemuda bernama Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 sebagai titik pijak kebangkitan nasional. Semangat Abdul Wahab muda sekitar tahun 1914 setelah pulang dari menuntut ilmu di Mekkah merasa tidak bisa memaksimalkan seluruh kemampuan berpikir dan bergeraknya saat menjadi salah satu bagian dari Syarikat Islam SI dengan tokoh utamanya Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Kiai Wahab merasa tidak puas jika belum mendirikan organisasi sendiri. Karena dalam pandangannya, SI terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedangkan dirinya menginginkan tumbuhnya nasionalisme di kalangan pemuda melalui kegiatan pendidikan. Singkatnya pada tahun 1916, KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan kebangkitan tanah air dengan bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai Pimpinan Dewan Guru keulamaan. Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pejuang, pemuda berilmu, dan cinta tanah air. Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyayikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Syubbanul Wathan. Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar kebangkitan pemikiran. Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische Studieclub, Syubbanul Wathan pemuda cinta tanah air, dan kursus masail diniyyah bagi para ulama muda pembela mazhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, yakni membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah. Kiai Wahab telah membuktikan diri bahwa internalisasi semangat nasionalisme sangat efektif diwujudkan melalui ranah pendidikan. Hal ini dilakukan dengan masif di berbagai pesantren sehingga peran ulama pesantren sendiri diakui oleh dr Soetomo Bung Tomo sebagai lembaga yang berperan besar dalam membangun keilmuan yang kokoh bagi bangsa Indonesia sekaligus dalam pergerakan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan. Dalam salah satu sumber historis, Bung Tomo berkata “Sebelum gopermen Hindia Belanda membuka sekolahnja, pada waktoe itoe, pesantrenlah jang mendjadi soember pengetahoean, mendjadi mata air ilmoe bagi bangsa kita boelat-boelatnja”. Selain itu dia juga memberikan pernyataan jelas terkait nasionalisme yang terus dibangun oleh kalangan pesantren. Bung Tomo berkata “Pesantren adalah konservatorium nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Andai tidak ada pesantren, andai kata tokoh-tokoh Indonesia hanya mendapatkan pendidikan Barat, kiranya sulit mengajak mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.” Semacam testimoni dr Soetomo tersebut bukan isapan jempol belaka. Tokoh-tokoh ulama dan kiai tidak hanya menginspirasi kalangan pesantren, tetapi juga memberikan spirit ruh perjuangan kepada para tokoh nasional seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain sebagainya. Tokoh perjuangan dari kalangan nasionalis itu secara mantap menjadikan ulama sebagai pelabuhan berpikir dan bertindak dalam melakukan perjuangan kemerdekaan saat itu, terutama kepada KH Muhammada Hasyim Asy’ari yang kerap kali menjadi tempat meminta pendapat bagi para pemuda pergerakan nasional dalam melawan menjajah. Bahkan Kiai Hasyim Asy’ari merumuskan dalil’ bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman, hubbul wathani minal iman yang berhasil membuat bangsa Indonesia tergerak untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Artinya, memperjuangkan kemerdekaan rakyat dari belenggu penjajah sama dengan menegakkan agama. Karena di tanah air Indonesia yang merdeka inilah, nilai-nilai agama Islam bisa tumbuh dan berkembang. Selain spirit nasionelisme dan pemikiran berbasis keilmuan pesantren yang ingin dibangkitkan, Kiai Wahab Chasbullah juga mengumpulkan para pengusaha atau saudagar-saudagar pesantren dalam perkumpulan Nahdlatut Tujjar kebangkitan saudagar yang didirikannya pada 1918. Tujuan utamanya memperkuat pemberdayaan dan kemandirian, tidak terpenjara dengan politik-politik kolonial yang kerap mengiming-imingi materi sehingga bangsa Indonesia terus terjajah dan martabat bangsa tergadaikan. Saking pentingnya membangun kemandirian ekonomi ini, Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari sendiri yang mendorong para pemuda dan kalangan pesantren untuk memaksimalkan pendirian koperasi melalui spirit Nahdlatut Tujjar. “Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi di mana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom untuk menghidupi para pendidik dan penyerap laju kemaksiatan.” Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari – Deklarasi Nahdlatut Tujjar 1918 dalam Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011. Dari perkumpulan Nahdlatut Tujjar, perjuangan para kiai pesnatren makin kokoh dalam upaya melawan kolonialisme Hindia-Belanda. Semua perjuangan kiai-kiai melalui pendidikan, dan lain-lain tertunjang dengan kebangkitan para pedagang yang digerakkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah. Spirit kebangkitan ke arah yang lebih baik untuk kepentingan rakyat banyak, itulah ruh perjuangan yang digelorakan oleh KH Hasyim Asy’ari beserta para ulama lain dan Bung Tomo sebagai pendiri Boedi Oetomo yang dinilai sebagai organisasi modern pertama yang memulai penggalangan kesatuan nasional. Editor Abdullah Alawi

Sesungguhnyaperjuangan para ulama begitu besar dalam mengantarkan Indonesia merdeka tidak lepas dari motivasi bagaimana Indonesia yang akan dibangun ini harus berdasarkan syari’at Islam. Namun banyak dari golongan nasionalis meski mereka beragama Islam (misalnya Soekarno dkk) tidak setuju dengan cita-cita para ulama di atas.
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh dirinya dan mempersilakan KH Muhammad Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy’ari. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan kaki dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. Choirul Anam, 2010 72 Riwayat tersebut merupakan salah satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk berdirinya Nahdlatul Ulama NU. Akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim. Petunjuk sebelumnya, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as. Awalnya, KH Abdul Wahab Chasbullah 1888-1971 sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia Jawa. Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam. Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Dari petunjuk tersebut, Kiai As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Kiai As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi oleh KH Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918. Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas. Komite Hijaz Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di dunia yang dianggap bid’ah. Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan. Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam Muktamar Alam Islami di Makkah. Bgai ulama pesantren, sentimen anti-mazhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri. Choirul Anam 2010 mencatat bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam CCI-dibentuk tahun 1921-yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat CCC—dibentuk tahun 1925-akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926. Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab. Sistem bermazhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”. Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berkahir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut. Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari. Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. Riwayat-riwayat tersebut berkelindan satu sama lain, yaitu ikhtiar lahir dan batin. Peristiwa sejarah itu juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi rakyat yang sedang terjajah, problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Tepat pada 31 Januari 2020, Nahdlatul Ulama berusia 94 tahun dalam hitungan tahun masehi. Sedangkan pada 16 Rajab 1441 mendatang, NU menginjak umur 97 tahun. Selama hampir satu abad tersebut, NU sejak awal kelahirannya hingga saat ini telah berhasil memberikan sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, 31 Januari dan 16 Rajab. Editor Abdullah Alawi
8 Pada tahun 1950 Konsulat NU (Nahdlatul Ulama’) Sunda Kecil 9. Pada tahun 1952 Ketua Badan Penasihat Masyumi Daerah Lombok 10. Pada tahun 1953 Mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan. 11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama 12. Pada tahun 1953 merestui terbentuknya NU dan PSII di Lombok 13. Pada tahun 1954 merestui

- Surabaya, 31 Januari 1926, tepat hari ini 92 tahun lalu. Sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul di rumah Wahab Hasbullah 1888-1971. Sebagian besar mereka datang dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren. Jarang terjadi kiai senior berkumpul dalam jumlah sebanyak itu. Tapi dalam kesempatan ini, mereka tengah memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Setelah melalui diskusi yang gayal, mereka memutuskan mendirikan Nahdlatul Ulama untuk mewakili dan memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda. Keputusan itu merupakan langkah bersejarah. Sebelumnya, tokoh-tokoh tradisional telah membentuk berbagai organisasi kecil dan bersifat lokal yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi, atau keagamaan. Tetapi baru setelah NU didirikan, sebagian besar kiai mau melibatkan diri mereka dalam sebuah organisasi berskala nasional dengan program kegiatan yang luas. NU berkembang cepat pada awal 1940-an dan mendaku sebagai organisasi Islam terbesar setanah air. Belum pernah terjadi dalam dunia Islam, sebuah organisasi yang dipimpin para ulama berhasil menarik massa pengikut sedemikian banyak. Banyak organisasi Islam modernis didirikan pada kurun waktu 1910-an hingga 1920-an. Yang terbesar di antaranya adalah Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada 1912. Muhammadiyah merumuskan pola aktivitas yang kemudian banyak ditiru kaum modernis lainnya seperti Persatuan Islam Persis dan al-Irsyad. Polarisasi Tradisionalis-Modernis Sepanjang dua dekade pertama abad ke-20, pembicaraan tentang posisi kaum tradisionalis dan kaum modernis berjalan akrab dan penuh keterbukaan intelektual. Kedua pihak berusaha menemukan persamaan dan membangun saling pengertian. Hal ihwal ini berubah tajam pada awal 1920-an, ketika persaingan muncul di antara kedua pihak. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab polarisasi ini. Salah satu yang paling utama adalah kritik kaum modernis terhadap otoritas kiai. Seperti dijelaskan Harry Jindric Benda dalam The Crescent and the Rising Sun 1983, mereka tidak hanya mempertanyakan kompetensi kiai untuk memutuskan hal-hal yang bersifat doktrinal dan berkaitan dengan hukum agama, tetapi juga menyerang budaya “santri berbeda dengan kiai”. Kritik itu ditanggapi dengan sikap bermusuhan oleh para kiai tradisionalis dan pendukungnya yang balik menyerang dengan mempertanyakan motivasi dan kebenaran ilmiah pemikiran kaum modernis hlm. 31. Selain itu, ekspansi organisasi-organisasi modernis ke berbagai kota kecil di Jawa Timur dan Jawa Tengah mengancam basis ekonomi banyak pondok pesantren dan keluarga kiai yang mengendalikannya. Kaum modernis sukses merekrut para pedagang kaya dan tuan tanah yang sebelumnya menjadi pendukung materiil dan keuangan kiai. Kaum tradisionalis menganggap bahwa tantangan keagamaan yang dikombinasikan dengan tantangan materiil ini sebagai ancaman terhadap kepemimpinan kiai di tengah umatnya. Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967 2003, memburuknya hubungan sangat jelas terlihat dalam Kongres al-Islam yang diselenggarakan di Cirebon, Jawa Barat, pada 1922, yang dihadiri perwakilan dari kelompok-kelompok Islam terbesar. Upaya untuk mencapai kesepakatan dalam hal reformasi pendidikan dan prasyarat melakukan ijtihad berubah menjadi acara saling menghujat di antara kedua pihak hlm. 31. Kaum modernis menuduh kaum tradisionalis sebagai penganut politeisme musyrik dan kaum tradisionalis menuduh kaum modernis sebagai kafir. Perwakilan golongan tradisionalis meninggalkan kongres itu dengan menyimpan kecurigaan yang kuat terhadap kaum modernis dan menolak turut serta dalam kongres-kongres al-Islam selanjutnya hlm. 32. Permusuhan di antara kedua aliran itu semakin memuncak dua tahun selanjutnya. Mereka berselisih pendapat mengenai siapa yang akan mewakili Indonesia dalam Muktamar Dunia Islam, yang akan diselenggarakan di Mekkah pada 1926. Tujuan muktamar itu adalah membahas kegiatan keagamaan di Hijaz setelah berkuasanya pemimpin Wahabi, Ibnu Saud. Kaum modernis pada umumnya menyambut baik rezim baru tersebut, tetapi kaum tradisionalis khawatir apabila Ibnu Saud yang puritan akan membatasi ritual dan praktik mazhab Syafi’i. Dalam Kongres al-Islam tahun 1925 di Yogyakarta, seperti didedahkan Gaffar Karim dalam Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia 1995, utusan tradisionalis dibuat marah oleh kurangnya dukungan dari kaum modernis terhadap usulan mereka agar Ibu Saud diminta menjamin kebebasan cara beribadah bagi semua umat muslim di Mekkah. Mereka merasa lebih kecewa lagi ketika konferensi para pemimpin modernis pada awal Januari 1926 di Cianjur, Jawa Barat, dan Kongres al-Islam pada Februari 1926 di Bandung memutuskan untuk tidak mengikutsertakan kaum tradisionalis dalam delegasi Hindia Belanda ke Hijaz hlm. 50. Peristiwa itu meyakinkan banyak kiai tentang perlunya utusan tersendiri untuk melindungi kepentingan mereka. Dengan maksud inilah, Wahab Hasbullah—atas persetujuan Hasyim Asy’ari—mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya pada akhir Januari 1926. Tujuan jangka pendek pertemuan itu adalah mensahkan terbentuknya Komite Hijaz yang akan mengirim delegasi ke kongres Mekkah untuk mempertahankan praktik-praktik kaum tradisionalis. Setelah hal itu disetujui, kemudian diputuskan untuk mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama sebagai representasi Islam tradisional. Manfaat langsung dari keputusan ini ialah semakin kuatnya otoritas Komite Hijaz. Karena mereka dapat mengaku berbicara atas nama organisasi permanen yang beranggotakan para ulama Hindia Belanda dan bukan sekadar sebuah komisi ad hoc. Tujuan jangka panjangnya adalah menciptakan lembaga yang mampu mengkoordinasikan dan mengembangkan respons kaum tradisionalis terhadap ancaman kaum modernis. Nama dan struktur organisasi baru itu menunjukkan adanya dominasi peran para ulama. Pengurus besar Nahdlatul Ulama atau PBNU terbagi atas dua badan, yaitu Syuriah atau Badan Keulamaan, yang terdiri dari para ulama; dan Tanfidziah atau Badan Eksekutif, yang sebagian besar terdiri dari para organisatoris atau Muslim awam. Badan Syuriah diberi wewenang yang sangat besar di bidang legislatif dan keagamaan, sedangkan Tanfidziah memegang peran administratif. Menurut Lathiful Khuluq dalam Fajar Kebangunan Ulama Biografi Hasyim Asy’ari 2000, Hasyim Asy’ari, ulama yang paling disegani dari kelompok pendiri, kemudian dipilih sebagai Ketua Syuriah dan diberi gelar Rais Akbar Ketua Tertinggi. Achmad Dachlan dari Kebondalem ditunjuk sebagai wakilnya, sedangkan Wahab mengisi posisi penting ketiga sebagai Katib Sekretaris hlm. 79. Kebanyakan anggota Syuriah berasal dari Jawa Timur. Banyak di antara mereka yang mempunyai kaitan dengan Tasywirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdhatut Tujjar—tiga organisasi pendahulu Nahdlatul Ulama. Anggota Tandfidziah sebagian besar adalah pengusaha kecil atau tuan tanah. Pembedaan antara ulama dan Muslim awam juga berlaku dalam keanggotaan pada umumnya, dengan memberikan hak-hak khusus bagi para ulama. Reaksi terhadap terbentuknya NU sangat beragam. Banyak kaum modernis yang menaruh kecurigaan dan berkeyakinan bahwa pemerintah kolonial telah membantu pembentukannya untuk menyaingi organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis. NU kemudian secara sah diakui pemerintah kolonial pada 1930. Hubungan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis semakin memburuk sepanjang akhir 1920-an hingga awal 1930-an. Kaum modernis menuduh NU berkolusi dengan Belanda. Forum terbuka untuk membahas masalah-masalah agama sering berubah menjadi perdebatan sengit dan saling caci maki. Di daerah tertentu bahkan sampai muncul ancaman fisik terhadap kelompok muslim saingannya. Ekspansi ke Luar Jawa lewat Jalur Kultural Dalam Nalar Politik NU & Muhammadiyah Over Crossing Java Sentris 2009, Suaidi Asyari menekankan soal penyebaran nilai-nilai NU melalui jalur kultural. "NU kultural", sebut saja begitu, mengacu pada Islam tradisionalis yang pada umumnya dibayangkan sebagai hubungan “imajinatif” dengan NU. Hubungan ini tidak teridentifikasi oleh keanggotaan atau melalui keterlibatan dalam struktur pengurus NU. Kaum Muslim yang menjalankan ibadah seperti NU akan merasa bahwa mereka terafiliasi dengan NU lebih dari organisasi Islam lain apa pun hlm. 115. Begitu pula sebaliknya. Kaum Muslim yang menjalankan ibadah yang sama dengan platform organisasi NU, akan diklaim sebagai pengikut NU. Ekspansi cabang NU ke luar Jawa cenderung mengikuti pola hubungan ini hlm. 116. Menurut Martin van Bruinessen dalam NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru 1994, pada 1942, terdapat 120 cabang dengan lebih dari pengikut. Mayoritas cabang NU pada periode awal berada di Jawa dan Madura. Di antara enam puluh tiga cabang NU sebelum 1930, hanya sepuluh cabang yang berada di luar Jawa hlm. 41. Ekspansi cabang NU di luar Jawa mengikuti pola perkembangan struktur pemerintahan Republik Indonesia. Ekspansi macam ini, dalam hal tertentu, meneruskan struktur pemerintahan kolonial. Sementara sebagian besar lainnya mengikuti struktur pemerintahan yang baru kapan dan di mana pun pemerintah membentuk struktur pemerintahan baru, selalu diikuti pembentukan pengurus baru NU. Pola ini masih berlaku hingga sekarang. Demikianlah, jumlah pengurus NU umumnya sama dengan jumlah unit pemerintahan, khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten di mana terdapat Muslim tradisionalis dalam jumlah yang signifikan. Pada tingkat provinsi, pengurus NU disebut Pengurus Wilayah PW. Di tingkat kabupaten disebut Pengurus Cabang PC. Pada level kecamatan terdapat Majelis Wakil Cabang MWC. Sementara di tingkat terendah terdapat Pengurus Ranting. Akomodasi, Militansi, Nasionalisme Ali Haidar dalam Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik 1998 menjelaskan bahwa Peristiwa Muktamar NU di Banjarmasin pada 1935 membuat keputusan yang menarik dalam kaitan dengan pembelaan negeri dari ancaman musuh bahwa Indonesia adalah negeri Muslim dar al-Islam. Kondisi Indonesia yang dijajah Belanda tidak menghalangi NU membuat keputusan itu. Karena kenyataannya, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan umat Muslim bebas menjalankan syariat agama hlm. 319.Keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa membela negeri yang mayoritas penduduknya Muslim dari ancaman musuh adalah wajib. Walaupun syariat Islam tidak berlaku secara formal di Indonesia, tetapi negeri ini dulunya merupakan negeri Islam yang diperintah oleh raja-raja Islam dan kaum Muslim bebas menjalankan agama. Perihal ini menjadi alasan mengapa NU membuat keputusan untuk melindungi tanah air dan bangsa dari ancaman timbulnya anarki yang lebih besar tanpa melihat sistem kekuasaan yang berlaku. Menjelang kemerdekaan Indonesia, NU melalui wakil-wakilnya turut serta merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Pergulatan perjuangan kemerdekaan itu lalu disusul Resolusi Jihad yang mewajibkan umat Muslim membela negara yang baru diproklamasikan sebagai jihad fi sabilillah. Sikap NU ini merupakan tahap lanjutan dari sikap terdahulu. Sebelumnya, NU mengakui tumpah darah dan tanah air Indonesia sebagai wilayah yang harus dilindungi karena wilayah itu adalah wilayah negeri Islam. Maka, ketika kemerdekaan Indonesia tercapai dan diakui sebagai negara berdaulat yang sah, ia harus dibela dari ancaman penjajahan kembali oleh sampai hari ini NU tetap konsisten menyerukan persaudaraan nasional antara rakyat Indonesia dari agama yang berbeda-beda ukhuwah wathaniyah dan membawa kaum ulama memperjuangkan kedamaian. Itulah salah satu peran terbesar NU. - Sosial Budaya Reporter Muhammad IqbalPenulis Muhammad IqbalEditor Ivan Aulia Ahsan

PesantrenLirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “*Pagar Nusa*” yang merupakan kepanjangan dari “*Pagarnya NU dan Bangsa.*” Kontan para musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua
Jakarta, NU Online Ketika para kiai pesantren mendirikan organisasi muncul dua usulan nama untuk perkumpulan mereka. Kedua-duanya secara prinsip memiliki makna sama dan dari bahasa sama pula. Namun memiliki implikasi yang berbeda. Usulan pertama disampaikan KH Abdul Hamid dari Sedayu Gresik. Ia mengusulkan nama Nuhudlul Ulama. Penjelasannya bahwa para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui wadah formal dia dikomentari KH Mas Alwi bin Abdul Aziz. Menurutnya, kebangkitan bukan lagi mulai atau akan bangkit, melainkan, sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum mereka mendirikan organisasi. Namun kebangkitannya tidak terorganisasi secara rapi. Maka, ia mengusulkan nama nahdlatul dari kata nahdlah yang diiringi ulama. Jadi, organisasi ini bernama Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkita para ulama. Menurut Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, dalam ilmu tata bahasa Arab, nahdlah adalah bentuk masdar marrah. Nahdlah dalam bentuk seperti itu maksudnya sekali bangkit dan berlangsung terus. Tidak sekali tumbuh, kemudian mati."Kalau nuhudl itu bisa saat itu kebangkitannya. Kalau nahdlah itu, sekali bangkit, untuk seterusnya, dan menurut ilmu nahwu kan jumlahnya, jumlah ismiyah, bukan jumlah fi’iyah. Jumlah fi’liyah itu faidahnya tajadud, bisa hidup, mati, hidup, mati, ada, tidak ada, ada, tidak ada, tapi kalau jumlah ismiyah itu istimrar, seterusnya, terus, harapannya ila yaumil qiyamah, Nahdlatul Ulama. Kiai Miftah menambahkan, setelah nahdlatul diikuti kata ulama karena kepangkatan dalam Islam setelah pangkat kenabian adalah ulama. Nabi Muhammad mengatakan al-ulama’u waratastul anbiya ulama adalah para ahli waris nabi. "Di dalam Al-Qur’an ada innama yakhsallahu min ibadihil ulama. Jadi, ulama itu suatu kepangkatan, martabat yang tertinggi setelah kenabian. Bahkan di dalam diri nabi pun ada makna ulama," jelasnya. Ia melanjutkan, ulama merupakan bentuk jamak dari kata alim yang berarti orang yang berilmu. Sementara itu di dalam ajaran Islam, ilmu mendapat kedudukan tinggi. "Semua bisa diselesaikan dengan ilmu. Semua bisa dicapai dengan ilmu. Bahkan ilmu dunia ilmu akhirat. Di Al-Qur'an disebutkan, orang-orang yang dianugerahkan ilmu itu derajatnya di atas orang yang beriman. Mukmin yang berilmu itu derajatnya melebihi mukmin biasa," tegasnya Ia menggarisbawahi, yang dimaksud ulama yang tinggi derajatnya adalah al-ulama al-amilin, orang yang alim yang mempraktikkan ilmunya. Di dalam Al-Qur'an disebutkan innama yakhsyallahu min ibadihhil ulama, yakni al-amilin."Saya kira itu penamaan yang sudah paling tepat, Nahdlatul Ulama. Bukan nuhudlul ulama," pungkasnya. Abdullah Alawi
Tahun1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi KELAHIRAN FAHAM NAHDLATUL ULAMA’ NU berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tangal 31 Januari 1926 M dengan bercirikan Jamiyah Keagamaan. Akan tetapi jika dilihat dari segi kegiatan dan perjuangannya, ternyata bukan saja mengurus masalah-masalah keagamaan saja melainkan juga mengurus permasalah ke kehidupan ummat islam dan bangsa Indonesia umumnya. Hal ini menunjukkan beberapa motivasi para ulama’ pesantren mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama’, di antaranya dan mengembangkan serta memberi kebebasan orang islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah dan berdasar salah satu madzhab yang empat. 2. Berkeinginan bekerjasama untuk mewujudkan kemaslahatan sebesar-besarnya bagi ummat islam. 3. Menanamkan dan terus mengobarkan semangat nasionalisme bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. A. Latar belakang kelahiran Nahdlatul Ulama’ 1. Usaha para ulama’ membangkitkan semangat bangsa Indonesia mencintai tanah air dan membebaskan diri dari penjajah Indonesia adalah Negara yang subur, tanaman macam apapun dapat tumbuh di bumi Indonesia. Kalau kita naik pesawat terbang lalu melihat ke bawah, maka sepanjang mata kita memandang akan terlihat bentangang yang serba hijau. Kekayaan alampun melimpah ruah begitu pula kekayaan lautpun tidak terhitung banyaknya. Dalam hal rempah-rempah Indonesia termasuk penghasil yang terbesar. Itulah sebabnya pada zaman dulu perdagangan di Bandar-bandar Indonesia yang berpusatkan di Bandar malaka, ramai dikunjungi pendatang mancanegara. para ulama’ mempertahankan faham ahlussunnah waljamaah ulama’ ahlussunnah waljamaah menyadari, bahwa usaha belanda untuk memecah belah ummat islam Indonesia adalah dalam rangka mempertahankan penjajahannya di Indonesia. Demikian juga belanda menydari,bahwa ulama’ ahlussunnah waljamaah yang sebagian besar berada di pedesaan dengan pondok pesantrennya, di anngap merupakan hambatan bagi belanda dalam mempertahankan jajahannya di Indonesia. Untuk itu belanda berusaha memecah belah ummat islam dengan jalan meniupkan perbedaan “islam modern” dan “islam kolot atau tradisional”serta membantu poerkembangan usaha dari golongan yang menamakan dirinya”islam modern “dengan berbagai macam bantuan. Sedangkan ulama’ ahlussunnah waljamaah menolak segala macam bantuan dari pada,bahkan segala yang menyerupai di larang dalam rangka usaha untuk mempertahankan kelestarian kebudayaan Indonesia yang di jiwai dengan nafas islam . kelahiran nahdlatul ulama’ 1. Berdirinya komite HIJAZ dan lahirnya nahdlatul ulama’. Sebelum tahun 1924,raja yang berkuasa di mekkah dan madinah ialah Syarif Husen, yang bernaung di bawah kesultanan turki. Akan tetapi pada tahun 1926 Syarif husen digulingkan oleh Ibnu Suud. Ibnu Suud ialah seorang pemimpin suku yang taat kepada seorang pengajar agama bernama Abdul Wahhab dari Nejed yang ajaran-ajaranya sangat konservatif. Misalnya berdoa didepan makam nabi dihukumi syirik. Penguasa hijaz yang baru ini mengundang pemimpin-pemimpin islam seluruh dunia untuk menghadiri muktamar islam di mekkah pada bulan juni 1926. Di Indonesia kebetulan waktu itu sudah terbentuk CCC Centra Comite Chilafat disebut komite hilafat, dan duduk didalamnya berbagai wakil organisasi islam, termasuk Hasbullah. CCC yang akan menentukan utusan Indonesia kemuktakar tersebut. Berhubungan dengan itu, maka Wahab Hasbullah bersama-sama para ulama’ Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan dengan restu Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirimkan delegasi sendiri kemukatamar pada juni 1926 dengan membentuk komite sendiri yaitu komite hijaz. Susunan Komite Hijaz Penasehat Abdul Wahab Hasbullah Cholil Masyhuri Ketua Gipo Wakil Ketua Syamil Sekretaris Muhammad Shodiq Pembantu Abdul Halim Pada tanggal 31 Jan 1926 komite mengadakan rapat di Surabaya dengan mengundang para ulam’ terkemuka di surabaya dan dihadiri Hasyim Asy’ari dan Asnawi Kudus. rapat memutuskan Asnawi Kudus sebagai delegasi komite Hijaz menghadiri muktamar dunia islam di mekkah. C. Tokoh-tokoh di balik berdirinya NU Kholil Kiyai Kholil lahir Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 di Bangkalan madura nama ayahnya Abdul Latif, beliau sangat berharap dan memohon kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pemimpin ummat. Pada tahun 1859 ketika berusia 24 th kiyai Kholil memutuskan untuk pergi ke mekkah dengan biaya tabungannya, sebelum berangkat beliau dinikahkan dengan Nyai Asyik di mekkah beliau belajar pada Syeikh di masjidil haram tetapi beliau lebih banyak mengaji pada para Syeikh yang bermazdhab syafi’i . Sepulang dari mekkah dari mekkah beliau dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot bahkan ia memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafizd kemudian beliau mendirikan pesantren di desa Cengkebuan. Kiyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadlan 1343 H dalam usia 91 th. hampir semua pesantren di Indonesia sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren Kiyai Kholil. Hasyim Asy’ari Beliau adalah seorang ulama’ yang luar biasa hamper seluruh kiyai di jawa memberi gelar Hadratus Syeikh Maha Guru beliu lahir selasa keliwon 24 dzulqa’dah 1287 H bertepatan dengan tanggal 14 Feb 1871 di desa Gedang,Jombang. Ayahnya bernama Demak jawa bernama Halimah putrid Kiyai Utsman pendiri pesantren Gedang. Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan ummat maka Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng,jombang pada th 1899 M. Dengan segala kemampuannya,Tebuireng kemudian berkembang menjadi “ Pabrik” pencetak kiai. Pada tanggal 17 Ramadlan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947M Hasyim Asy’ari Memenuhi panggilan Ilahi. Wahab Hasbullah Beliau adalah seorang ulama’ yang sangat alim dan tokoh besar dalam NU dan bangsa Indonesia. Beliau di lahirkan di desa Tambakberas,Jombang,Jawa Timur pada bulan maret 1888. Semenjak kanak-kanak beliau dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Langkah awal yang ditempuh Hasbullah kelak sebagai bapak pendiri NU,itu merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan yang sengaja dipilih nama nahdlatul Wathan yang berarti Bangkitnya Tanah Air. Tentang Muhammad Khofifi beragam aktifitas selalu mengakrabi kehidupan Muhammad Khofifi, eksdemonstran kelahiran desa Bulupitu gondanglegi Malang Jawa timur pada tanggal 18 Maret 1985 ini menempuh TAMAN KANAK-KANAK IBNU HAJAR LULUS PADA TAHUN 1999/1990 pendidikan MI MIFTAHUL ULUM Bulupitu lulus pada tahun pelajaran1994/1995 kemudian MTs IBNU HAJAR BULUPITU lulus pada tahun pelajaran 1998/1997 kemudian mengabdi di dalem ponpes Al HAFILUDDIN KYAI H. MUHAMMAD SHOLEH selam 2 tahun kemudian melanjutkan sekolah MA di MADRASAH ALIYAH RAUDLATUL ULUM Putra tahun pelajaran 2001/2002 kemudian lulus pada tahu 20004/2005 lulus kemudian tugas mengajar selama satu tahun di Pulau GARAM " madura" didesa pao paleh laok ketapang sampang madura kemudian pulang karna tidak kerasan kemudian bekerja menjadi Staff Perpustakaan selama satu 2006 dan tahun 2007 kemudian diangkat menjadi staff TU administra sampai tahun 2011 ditahun 2011 diangkat menjadi waka kesiswaanwaka sampai tahun 2013 lulus sertifikasi ditahun 2014,S1prodi tarbiyah di STAI AL QOLAM atau sekarang dikenal dengan IIQ jurusan PAI ditahun 2011 . Dan sampai sekarang masih mengajar di MA RU PA PondokPesantren Darul A'mal berafiliasi ke kalangan Nahdliyin, sebab Kyai Haji Khusnan Mustofa Gufron tercatat sebagai ketua Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung. Karena itu para santri diarahkan agar pendidikan dan ibadahnya tidak terlepas dari ajaran organisasi nahdliyah. Dalam mendidik para santri yang berhaluan ahlussunnah wal

Home Politik Rabu, 22 Desember 2021 - 0605 WIBloading... NU didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 Hijriah oleh sekelompok ulama yang merupakan kepentingan Islam tradisional. Foto SINDOnews/Dok A A A JAKARTA - Nahdlatul Ulama NU akan menyelenggarakan Muktamar ke-34 hari ini, Rabu 22/12/2021. Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkitan ulama merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki sejarah Nahdlatul Ulama tidak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah aswaja. Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ keputusan-keputusan para ulama sebelumnya, dan Qiyas kasus-kasus yang ada dalam cerita Al-Qur’an dan Hadits. Baca Juga Nahdhatul Ulama didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada 31 Januari 1926 M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 Hijriah oleh sekelompok ulama yang merupakan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren.“Lahirnya Jami’iyyah NU didahului dengan beberapa peristiwa penting. Pertama adalah berdirinya grup diskusi di Surabaya pada tahun 1914 dengan nama Taswirul Afkar yang dipimpin KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansyur,” kata Bibit Suprapto dalam buku Nahdlatul Ulama Eksistensi Peran dan Prospeknya’, dikutip Rabu 22/12/2021.Menurut Masykur Hasyim dalam tulisan Merakit Negeri Berserakan’, NU lahir sebagai reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah. Tokoh-tokoh yang ikut berperan di antaranya KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan para ulama pada masa berdirinya Nahdlatul Ulama berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924 di Arab Saudi, sedang terjadi arus pembaharuan. leh Syarif Husein, Raja Hijaz Makkah yang berpaham Sunni ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Baca Juga Dikutip dari sebelum Nahdlatul Ulama dibentuk KH Hasyim Asyari terlebih dahulu melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Sikap bijaksana dan kehati-hatian KH Hasyim Asyari dalam menyambut permintaan KH Wahab Hasbullah juga dilandasi oleh berbagai hal. Di antaranya posisi KH Hasyim Asyari saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia Jawa. KH Hasyim Asyari juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari KH Hasyim Asyari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam. ormas islam kiai nahdlatul ulama kh hasyim asyari muktamar nu Baca Berita Terkait Lainnya Berita Terkini More 7 menit yang lalu 18 menit yang lalu 1 jam yang lalu 1 jam yang lalu 2 jam yang lalu 2 jam yang lalu

NUadalah jamm’iyah diniyah Islamiyah ( organisasi keagamaan Islam ) yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M. [7] Nahdlatul ‘Ulama sebagai jam’iyah diniyah adalah wadah para Ulama’ dan pengikut-pengikutnya, dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan
- Nahdlatul Ulama NU tahun ini memasuki usia 100 tahun atau 1 abad apabila dihitung menurut penanggalan Hijriah. Hingga berusia 1 abad, Nahdlatul Ulama NU masih dikenal masyarakat sebagai sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Nahdlatul Ulama NU diketahui berdiri pada 31 Januari 1926 M atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Baca juga Sejarah Pagar Nusa, Pencak Silat Nahdlatul Ulama Sejak awal berdirinya hingga saat ini, kontribusi Nahdlatul Ulama NU dalam pembangunan juga selalu terlihat dari waktu ke waktu. Peran NU di berbagai bidang kehidupan termasuk keterlibatannya di ranah politik membuat makin dikenal dan diperhitungkan. Baca juga Latar Belakang Lahirnya Nahdlatul Ulama Jelang Hari Lahir Harlah NU yang selalu diperingati tiap 31 Januari, simak sejarah singkat berdirinya organisasi ini. Baca juga Badan-badan Otonom Nahdlatul Ulama Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama NU Melansir laman NU Online, para ulama pesantren Ahlussunnah wal Jamaah Aswaja mendirikan jam'iyah atau organisasi NU di kediaman KH Abdul Wahab Chasbullah di Kertopaten. Sebelumnya, KH Wahab Chasbullah juga pernah telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916. Kemudian beliau juga mendirikan Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918. Kemudian pada tahun 1914 didirikanlah kelompok diskusi Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran yang juga disebut sebagai Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Pada saat mendirikan NU, para kiai juga mendiskusikan nama organisasi yang akan digunakan. Serupa dengan nama kelompok sebelumnya, tersebutlah usulan nama Nuhudlul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Namun, KH Mas Alwi Abdul Aziz kemudian mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Alasannya, konsekuensi penggunaan kata nahdlatul adalah kebangkitan yang telah terangkai sejak berabad-abad lalu. Hal ini mengingat bahwa Nahdlatul Ulama bukanlah hasil yang tiba-tiba mengingat ulama Aswaja memiliki sanad keilmuan dan perjuangan sama dengan ulama-ulama sebelumnya. Hal inilah yang kemudian membuat organisasi NU sebagai kelanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, dengan cakupan dan segmen yang lebih luas. Tokoh yang Terlibat dalam Berdirinya Nahdlatul Ulama NU Pada hari bersejarah itu beberapa tokoh terlibat dalam pendirian organisasi NU antara lain KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, Jawa Timur KH Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Jombang, Jawa Timur KH Bishri Syansuri Jombang, Jawa Timur KH Asnawi Kudus, Jawa Tengah KH Nawawi Pasuruan, Jawa Timur KH Ridwan Semarang, Jawa Tengah KH Maksum Lasem, Jawa Tengah KH Nahrawi Malang, Jawa Tengah H. Ndoro Munthaha Menantu KH Khalil Bangkalan, Madura KH Abdul Hamid Faqih Sedayu, Gresik, Jawa Timur KH Abdul Halim Leuwimunding Cirebon, Jawa Barat KH Ridwan Abdullah Jawa Timur KH Mas Alwi Jawa Timur KH Abdullah Ubaid dari Surabaya, Jawa Timur Syekh Ahmad Ghana’im Al Misri Mesir Adapun beberapa ulama lainnya yang juga hadir pada saat itu tak sempat tercatat namanya. Substansi Berdirinya Nahdlatul Ulama NU Melansir laman Gramedia, berdirinya Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan dukungan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah Aswaja yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma keputusan ulama terdahulu. Menurut Mustofa Bisri hal memiliki tiga substansi di dalamnya, yaitu 1. Syariat Islam sesuai dengan salah satu ajaran dari empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafiy, Hanbali. 2. Perspektif tauhid ketuhanan mengikuti ajaran Imam Abu Hasan Almaty Ali dan Imam Abu Mansur Al Maturidi Imam Abu Qosim Al Junaidi di bidang tasawuf Proses mengintegrasikan ide-ide Sunni berkembang. Cara berpikir Sunni di bidang ketuhanan bersifat eklektik memilih pendapat yang benar. Hasan al-Bashri seorang tokoh Sunni terkemuka dalam masalah Qodariyah dan Qadariyah mengenai personel, memilih pandangan Qadariyah. Pendapat bahwa pelaku adalah kufur dan hanya keyakinannya yang masih tersisa fasiq. Apa ide yang dikembangkan oleh Hasan AL Basri Belakangan justru direduksi menjadi gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tujuan Berdirinya Nahdlatul Ulama NU Organisasi ini lantas berkembang ke sejumlah kota di Indonesia dengan berpegang pada beberapa tujuan. Melansir laman Antara, dalam AD/ART NU tercantum bahwa tujuan NU adalah untuk menjaga berlakunya ajaran Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah aswaja. Lebih lanjut, Nahdlatul Ulama NU juga bertujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta alam. Hingga 96 tahun berdirinya NU, organisasi ini telah berkembang pesat dengan jejaring anggota dan pengurus yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Sumber
aGOBhYV.
  • mr5195fbc9.pages.dev/3
  • mr5195fbc9.pages.dev/17
  • mr5195fbc9.pages.dev/148
  • mr5195fbc9.pages.dev/81
  • mr5195fbc9.pages.dev/60
  • mr5195fbc9.pages.dev/217
  • mr5195fbc9.pages.dev/360
  • mr5195fbc9.pages.dev/305
  • mr5195fbc9.pages.dev/232
  • apa motivasi para ulama pesantren mendirikan organisasi nahdlatul ulama